Liberalisasi Ekonomi


Menurut Chacholiades (1978) partisipasi dalam perdagangan internasional bersifat bebas sehingga keikutsertaan suatu negara tersebut dilakukan secara sukarela. Dari sisi internal, keputusan suatu negara melakukan perdagangan internasional merupakan pilihan sehingga perdangangan seharusnya memberikan keuntungan pada kedua belah pihak. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa perdagangan akan memberikan manfaat pada negara pelaku dan akan meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan tidak ada perdagangan (Kindleberger dan Lindert, 1978). Dengan kata lain, perdagangan akan meningkatkan efisiensi ekonomi sekaligus memberikan keuntungan akibat perbedaan harga relatif dan spesialisasi dalam berproduksi. Secara teoritis, penghapusan berbagai bentuk intervensi dan hambatan menjadikan penerapan liberalisasi perdagangan akan mendorong peningkatan volume perdagangan lebih besar sehingga nilai tambah yang diciptakan juga makin besar.
Kondisi tersebut selanjutnya diperkirakan akan memacu pertumbuhan ekonomi dunia. Dalam prakteknya, proses liberalisasi perdagangan dilakukan melalui berbagai skenario. Selain proses liberalisasi unilateral, ratifikasi kerjasama perdagangan internasional melalui pembentukan kelembagaan seperti APEC, AFTA dan WTO merupakan pilihan skenario liberalisasi bagi negara pelaku perdagangan termasuk Indonesia. Sebagian ekonom menganggap liberalisasi akan menguntungkan bagi negara yang sedang berkembang dan penduduk miskin karena ekspor produk yang bersifat padat karya akan meningkat. Selain itu, liberalisasi yang menuntut peningkatan daya saing produk akan mendorong peningkatan nilai tambah melalui pembangunan industri-industri manufaktur pengolahan hasil pertanian. Namun ekonom lainnya berpendapat bahwa liberalisasi ekonomi justru akan merugikan dan memperburuk kondisi ekonomi dalam negeri. Laju pertumbuhan ekspor pertanian tidak akan mampu mengimbangi laju pertumbuhan impor terhadap produk-produk teknologi negara-negara lain.
Apalagi negara-negara maju enggan untuk mengurangi subsidi yang berjumlah miliaran dollar Amerika Serikat terhadap produk-produk pertanian mereka, sementara negara-negara berkembang dipaksa untuk membuka pasar mereka terhadap produk-produk pertanian negara-negara maju. Ekonomi konvensional di bawah dominasi kapitalisme saat ini sedang menghadapi masa krisis dan reevaluasi. Sebagaimana kapitalisme menghadapi serangan kritikan dan berbagai penjuru. Mulai dari Karl Max sampai pada era tahun 1940-an, 1950-an, 1960-an, bahkan diawal abad 21 kritikan tersebut semakin tajam dan meluas hingga kritikan tersebut semakin tajam dan meluas hingga kritik yang muncul dari kalangan ekonom kontemporer seperti Joseph E. Stiglitz. Ekonomi konvensional ternyata semakin menciptakan ketimpangan yang hebat dan ketidakadilan ekonomi dan kemudian kapitalisme tersebut juga telah menciptakan krisis moneter dan ekonomi di banyak negara.

Load comments

0 Comments