PDB ; Masih Relevankah ?

Akhir-kahir ini, pemerintah kerap dituding “berbohong” mengenai indikator-indikator perekonomian (angka kemiskinan, besaran pendapatan per kapita dll). Pemerintah pun menyangkal keras, dengan menyatakan bahwa angka-angka tersebut resmi berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang tentu telah melewati tahap pendapatan dan uji ilmiah yang ketat.
Apa sebenarnya inti permasalahan tudingan tersebut? Bisa kita lihat bahwa problem pokoknya bersumber dari kesenjangan yang luar biasa antara besaran angka-angka tersebut dengan relaitas sehari-hari yang dialami langsung oleh masyarakat. Betapa orang awam tidak tercengang ketika BPS melansir bahwa pendapatan per kapita Indonesia pada than 2010 mencapai Rp 27 juta, sementara dalam realitasnya ia harus bergulat menafkahi keluarga dengan pendapatan yang tak sampai seperdua puluh jumlah itu. Begitu juga ketika pemerintah membanggakan pencapaian Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar AS$700 miliar, sementara fenomena kemiskinan terus kita lihat dengan intensitas yang makin mengenaskan.
Pemerintah mungkin tidak berbohong dengan angka-angka itu, juga tidak tidak memanipulasinya, tapi angka-angka itu sendirilah yang mengandung persoalan ketika mereka dibanggakan sebagai tolak ukur kinerja pemerintah. Dan fenomena ini bukan khas Indonesia. Ada sebuah catatan yang menyatakan bahwa kesenjangan antara angka dan realitas itu “telah merusak kepercayaan akan statistik resmi. Di perancis dan inggris misalnya, hanya sepertiga warga yang mempercayai angka-angka resmi.
Tulisan singkat ini merupakan konklusi dari sebuah buku “ajaib” tentang pengukuran kinerja ekonomi dan kemajuan sosial (stiglitz, sen, fitoussi). Mereka menyatakan bahwa ketidakpuasan terhadap PDB sebagai indikator kemajuan telah lama dirasakan, namun beberapa tahun belakangan mengerucut dalam apa yang disebut sebagai “gerakan indikator”. Bhutan mengeluarkan indeks kebahagiaan, dimana rasa bahagialah yang menjadi tolak ukur kemajuan masyarakat, bukan produksi bagaimana diukur oleh PDB. Kanada juga tengah mematangkan indeks kesejahteraannya sendiri.
Masih  mungkinkah PDB menjadi tolak ukur kesejahteraan Indonesia?

Load comments

0 Comments