Basis bahan baku kita lemah. Terbukti dengan menghilangnya bahan
baku rotan dari Kalimantan dan sumatera yang diisukan telah diekspor ke negeri
panda. Para perajin rotan Cirebon mengeluh karena sulitanya pasokan tersebut. Asosiasi
industri pemebelan dan kerajinan Indonesia (ASMINDO) dan Asosiasi mebel dan kerajinan
rotan Indonesia (AMKRI) kemudian mendatangi pemerintah untuk menyelamatkan para
perajin domestik. Dari data yang dilansir, kerajinan berbasis rotan telah
tertekan hingga 30% akibat serangan industri mebel dari china yang lebih murah.
Tentu saja ini merupakan kerugian bagi kita. Setiap bulan china mampu mengimpor
kerajinannya hingga 3000 kontainer, ini benar benar sudah meresahkan masyarakat
perajin kita. Basis masalah disini adalah mengapa pemerintah lebih
mengedapankan ekspor bahan mentah ke luar negeri dibanding dengan memenuhi
permintaan domestik.
Dirjen kepabeanan
mengatakan dalam sebuah tulisan di media, bahwa ada kesimpang siuran informasi
antara kementrian perdagangan dan perindustrian. kementrian perdagangan menilai
bahwa pasokan rotan ke negeri panda perlu dilakukan mengingat cadangan rotan domestik
masih dapat terpenuhi. Berbeda dengan kementrian perindustrian, mereka menilai
bahwa pasokan tersebut merupakan kesalahan fatal, kita diibaratkan seperti
memberikan “ peluru “ kepada musuh untuk membunuh kita. Perbedaan data yang dimilki
kemendag dan kemendus inilah yang menjadi faktor lainnya. Kasus lain kesimpang
siuran birokrasi kita adalah masalah garam. Kementrian perikanan merasa telah “dikhianati”
oleh kementrian perdagangan yang berani mengimpor garam dari Venezuela karena
mereka menilai cadangan garam domestic telah menurun. Anggapan tersebut
dibantah habis oleh fadel Muhammad, yang menyatakan bahwa cadangan garam domestik
masih tercukupi bahkan melimpah. Menurutnya, impor garam tersebut telah
menggiring para petani garam ke karang kematian. Entah bagaimana menilainya, selalu
saja ada masalah dengan kebijakan yang dilakukan oleh kementrian perdagangan
kita. Kasus kentang demikian, pasokan kentang dari china dan Bangladesh ke
daerah daerah pemasok kentang seperti banjarnegara, pangalengan, sumatera barat
benar benar telah “mengebiri” petani domestik kita. Pemerintah sedang berpihak
kepada siapa?
Kajian utama saya
bukan pada kerancuan kebijakan perdagangan dan perindustrian, namun lebih pada
lemahnya politik perdagangan dan perindustrian kita. Bangsa kita kaya akan
rempah dan bahan baku mentah. Namun yang menjadi masalah adalah, aktivitas
perdagangan kita hanya bersandar pada indusri pengolahan. Ekspor kita ke Negara
Negara lain merupakan eskspor bahan mentah bukan manufaktur yang memiliki nilai
tambah. Baiklah bila kementrian partanian mencatat kemajuan yang fantastis
untuk aktivitas ekspor kita yang naik hingga 16,6 % dikuartal ketiga, namun
core perdagangannya adalah bahan mentah. Indonesia lemah pada pendayagunaan
sumber daya alam dari pengolahan ke manufaktur. Padahal dalam rancangan
pembangunan jangka panjang (RPJP) dan menengah (RPJM) yang dikuatkan dengan
MP3I, pemeritah melarang untuk penjualan bahan bahan mentah ke luar negeri. Lagi
lagi pemerintah kita tidak konsisten. Payahnya. Indonesia memang diuntungkan
dengan aktivitas ekspornya namun kenaikan ekspor tersebut diikuti dengan laju
impor bahan baku dari Negara yang sama. Ini paradoks, paradoks klasikal. Membentuk
satu aktivitas ekonomi “primitif”.
Saya kutip ekonomi
“primitive” dalam sebuah pemaparan khas peneliti INDEF. Aktivitas perdagangan bahan
mentah adalah aktivitas zaman “baheula”, zaman kolonialis. Sudah bukan zamannya
lagi pemerintah melakukan hal itu, harus adalah aksi melakukan pengolahan SDA
kita menjadi industry yang bernilai tambah. Kementrian perdagangan kita
mengatakan bahwa pasokan SDA kita keluar negeri merupakan keniscayaan sebagai Negara
yang menganut azasi global. Saya kira kalw memang belum siap bertarung untuk
apa menantang, ujung ujungnya kita sendiri yang akan terkapar. Pertarungan ekonomi
ini perlu strategi yang jelas dan konsisten. Laju birokrasi antar sektor perlu
dikuatkan. Sangat memalukan sekali bila terjadi hal miskomunisi antar lembaga
pemerintah apalagi diketahui oleh masyarakat dunia, seakan kita telah mencoreng
wajah kita kehadapan dunia. Tidak tahu malu.
Perlunya rekalkulasi
liberalisasi adalah keniscayaan. Belum saatnya bangsa ini mengobral kekayaanya
kepada Negara lain. Pengelolaan SDA kita selalu saja dilakukan oleh investor
asing, sehingga nisbah yang kita terima tidak seberapa. Sampai kapan bangsa
kita dirampok orang. Lagi lagi ekonomi primitif. Catatan mengenai rekalkulasi
ini saya tuliskan kedalam beberapa sebab, Pertama, belum terdapat
komitmen yang kuat dan keserasian ide untuk pengembangan sektor industry pengelolaan.
Kedua, industi pengolahan sebagian tidak berbasis sumber daya ekonomi domestic,
sehingga tergantung dari bahan baku impr. Ini menyebabkan daya saing industri
menjadi berkurang dan nisbah ekonomi jatuh ke Negara lain. Ketiga, belum
ada pemihakan yang kuat kepada investor domestic (menengah dan kecil) sebagai
pemain inti dalam sektor industri. Keempat, kebijakan liberalisasi yang
dilakukan tanpa kalkulasi yang tepat dan cermat sehingga pasar domestik dibanjiri
komoditi impor.
Kajian ini bukan
merupakan provokasi kepada pemerintah, namun merupakan sebuah wacana untuk
bergeliat menyelamatkan potensi bangsa. Terima kasih untuk membaca, ditunggu
tanggapan anda.
0 Comments